Apa yang Akan Terjadi Bila Suhu Bumi Naik 1,5 Derajat Celcius ?

Jakarta – Bumi adalah tempat bagi berbagai iklim, mulai dari bukit pasir Sahara yang panas sampai pegunungan beku Antartika. Dengan keragaman seperti itu, mengapa ilmuwan khawatir dengan kenaikan suhu bumi yang hanya 1,5 derajat Celcius ?.

Perubahan suhu rata-rata di seluruh muka bumi, meskipun hanya beberapa derajat merupakan masalah besar. Hal itu diungkapkan Ilmuwan Plaeoklimate di Lamont-Doherty Earth Observatory Columbia University di New York, Peter deMenocal.

Menurut deMenocal, saat ini bumi lebih hangat 1,2 derajat celcius dari pada saat pra-industri. 144 Negara yang ikut berpartisipasi dalam Perjanjian paris 2016 mengumumkan batas kenaikan suhu global abat ini 1,5 derajat Celcius, berubah dari yang sebelumnya 2 derajat Celcius.

Sebagai perbandingan, 15.000 tahun yang lalu, saat berakhirnya zaman es terakhir, ketinggian air laut 106 meter lebih rendah dari saat ini. Selama zaman es, sekitar 32 persen permukaan bumi tertutup oleh es. Sedangkan menurut National Snow and Ice Data Center saat ini hanya sekitar 10 persen bumi yang tertutup es.

Perubahan iklim terjadi dari waktu ke waktu. Namun saat ini terjadi perubahan tercepat dan jumlah karbon dioksida gas rumah kaca telah memenuhi atmosfer bumi. Selain itu, peningkatan suhu bumi juga mengancam makanan, air, tempat tinggal, jaringan energi dan kesehatan manusia.

Perubahan iklim akhirnya mempengaruhi ekosistem yang menyediakan makanan. “oleh karena itu keamanan pangan kita terkait dengan keamanan ekosistem tersebut,” kata DeMenocal.

DeMenocal mengungkapkan, lautanĀ  menyediakan sekitar 20 persen protein. Ketika pengasaman laut terjadi karena oleh perubahan iklim, ribuan spesies termasuk tiram, kepiting, dan karang sulit bertahan hidup, akibatnya mengganggu jaringan makanan.

Di daratan, kenaikan 2 derajat Celcius menyebabkan hampir dua kali lipat defisit. Menurut NASA ini menyebabkan turunnya panen gandum dan jagung.

NASA mengungkapkan jika suhu terlalu panas saat tanaman berbunga, pertumbuhnnya menjadi kerdil. Hal ini menyebabkan penurunan atau tidak ada tanaman pangan yang dapat dikonsumsi.

Seiring suhu yang hangat dan gletser mencair, kenaikan permukaan laut bisa menghancurkan rumah dan kota. Menurut deMenocal, sekitar 40 persen penduduk dunia tinggal dalam jarak 100 kilometer dari pantai.

Dari tahun 1901 sampai 1990, rata-rata permukaan air laut dunia naik sekitar 1,2 milimeter per tahun, namun dari tahun 1993 sampai 2010, tingkat tersebut naik sekitar 3 mm per tahun, yang berarti tingkat kenaikan lebih dari dua kali lipat, menurut laporan jurnal Nature 2015.

Sekitar 7 persen pembangkit listrik Amerika Serikat pada tahun 2013 berasal dari pembangkit listrik tenaga air, yang menyumbang 52 persen energi terbarukan yang dihasilkan negara. Namun, pergeseran pola curah hujan dapat mengurangi tenaga air dalam jangka panjang. “Ini sekarang mengancam Amerika Barat dan beberapa wilayah Eropa juga,” kata DeMenocal.

Peningkatan suhu dan perubahan pola hujan dikaitkan dengan penyebaran penyakit bawaan vektor (organisme lain yang mentransmisikan antara manusia atau hewan ke manusia), seperti penyakit Lyme dan malaria.

“Bahkan jika (penyakit yang ditularkan melalui vektor) diberantas secara lokal di wilayah tertentu, perubahan cuaca yang terkait dengan perubahan iklim dapat menyebabkan migrasi penyakit yang dibawa oleh vektor ini ke daerah baru,” kata DeMenocal.

Lebih jauh lagi, beberapa wilayah di dunia, seperti bagian Timur Tengah dan Amerika Barat, tidak dapat ditinggali manusia karena suhu yang ekstrim.

Suhu yang ekstrim menyebabkan tubuh manusia tidak mampu menguap keringat untuk mendinginkan diri. “Jika tidak bisa menguap [keringat], manusia benar-benar bisa mati,” kata DeMenocal.

Temperatur yang ekstrem juga dapat menurunkan produktivitas di kalangan pekerja. Menurut laporan Bloomberg pada tahun 2014 tentang risiko ekonomi dari perubahan iklim, panas yang ekstrim, terutama di Amerika Tenggara, dapat menyebabkan turunnya produktivitas pekerja luar ruangan sebesar 3 persen.

Penurunan ini dua kali lipat dari “perlambatan produktivitas” yang terjadi pada tahun 1970an, yang kemungkinan terjadi karena inflasi dan ketidakstabilan ekonomi yang tinggi, kata laporan tersebut.

Bumi diantisipasi untuk mengalami kenaikan suhu melampaui 2,7 derajat F (1,5 derajat C) dalam waktu sekitar 15 tahun – antara 2032 dan 2039. Planet ini diperkirakan akan melampaui patokan 3,6 derajat F (2 derajat C) antara tahun 2050 dan 2100.

“Jika kita berada dalam skenario emisi kita saat ini, peningkatan suhu lebih cepat dari itu,” kata DeMenocal. “Bahkan selama 8000 tahun terakhir, kita belum melihat suhu seekstrim ini yang juga cepat peningkatannya.”

Sumber : beritabethel.com


Tinggalkan komentar

*
*