Sejak kecil, saya, Pungky Yahya, senang latihan tenis meja. Hal itu terus saya tekuni, sampai saya pun mendapatkan kesempatan untuk mengikuti kejuaraan hingga tingkat provisi Jawa Barat.
Meski saya memiliki prestasi di dunia tenis meja, tetapi itu tidak berbanding lurus dengan kondisi keluarga saya. Oleh karena ayah saya seorang penjudi dan pemabuk, orang-orang sekitar saya seringkali menyinggung hal tersebut.
Tidak terima dengan hal-hal buruk yang mereka sampaikan, saya pun marah. Namun, yang suka terjadi, saya justru sering menjadi korban pukulan mereka.
Sesampai di rumah, ayah menjadi naik pitam melihat saya. Sebenarnya bukan hanya karena melihat saya babak belur, tetapi karena beliau kalah judi. Sebagai pengganti kekesalahnnya, kami, anak-anaknya dipukul sampai kami kesakitan.
Melihat ayah yang seperti itu, saya pun menjadi orang yang kurang percaya diri. Untuk mengatasi rasa minder, saya ditawari oleh teman sekolah saya untuk menggunakan obat-obatan. Tawaran tersebut saya terima.
Bukan saja di saat senggang, ketika bertanding tenis meja, saya menggunakannya. Dengan mengonsumsinya, saya menjadi lebih percaya diri, semangat.
Dalam sebuah kejuaraan tenis meja yang saya ikuti, saya mendapatkan hasil yang memuaskan. Untuk perorangan, saya menjadi juara dua. Sementara beregu, saya menjadi juara pertama.
Meski ayah saya seorang pemabuk dan penjudi, beliau mendukung sekali saya di dalam bidang ini. Salah satu contohnya adalah beliau membawa saya ke toko olahraga dan membelikan saya perlengkapan olahraga tenis meja yang saya sukai.
Pada beberapa kali kesempatan kejuaraan tenis meja, saya sering membawa piala dan menunjukkannya kepada beliau. Tujuannya adalah satu yakni untuk memperlihatkan kepada beliau bahwa saya mampu meraih berprestasi di dalam bidang yang saya tekuni.
Di kejuaraan terakhir yang saya ikuti dimana di situ saya menjadi juara perorangan dan juara satu beregu, saya mendapat kabar bahwa ayah saya mengalami kecelakaan dan berada di rumah sakit. Tanpa panjang lebar, saya langsung meluncur dari lokasi pertandingan.
Setibanya di sana, ibu saya memberikan kabar bahwa ayah saya telah meninggal dunia. Saya menangis dengan kepergiaan ayah.
Tidak sampai di situ, beberapa waktu setelah kematian ayah, saya dipanggil oleh pelatih klub tenis meja saya dan menyampaikan laporan medis bahwa saya positif doping. Oleh karena itu, saya dikeluarkan dan tidak diizinkan untuk mengikuti kejuaraan lagi.
Terdorong akan kebutuhan hidup, saya melakoni tenis meja dengan memasukkan unsur perjudian di dalamnya. Jadi, jika saya menang, saya akan meraup semua uang judi yang terkumpul. Jika kalah, merekalah yang mengambil seluruhnya.
Faktanya saya sering kalah di dalam perjudian. Melihat hal itu, saya ditemui oleh seorang bandar judi dari Medan. Orang tersebut lah yang memberikan dananya agar saya membuka usaha perjudian di Bandung. Akhirnya saya menjadi seorang pengusaha judi.
Berjalannya waktu, ternyata ada dari anak buah saya ketika itu yang melakukan pengkhianatan. Atas laporannya ke pihak kepolisian, tempat perjudian saya digerebek dan saya pun dimasukkan ke dalam penjara. Atas perbuatan melanggar hukum yang saya lakukan, hakim memutuskan bahwa saya dijatuhi hukuman 3 tahun 9 bulan penjara.
Hari-hari saya di hotel prodeo begitu suram. Saya tidak lagi memiliki kuasa apa-apa. Para napi di sana bahkan merendahkan saya. Keluarga bahkan tidak seorang pun yang mengunjungi saya.
Efek buruknya saya menjadi melamun, suka tertawa sendiri, menangis sendiri. Dari keterangan orang-orang sekeliling, saya melakukan hal-hal yang tidak wajar. Melihat kondisi saya, Kalapas dimana saya berada mengusahakan saya untuk mendapatkan keringan hukuman. Remisi pun saya terima.
Singkat kisah, sekeluarnya dari lapas, saya hidup di mana saja. Keinginan untuk membalas dendam pun masih begitu kuat di dalam diri. Namun, semua orang saya curigai.
Seorang teman lama bernama Sony menemukan saya sedang berada di jalanan. Ia pun membawa saya ke rumahnya. Walau pun kelakuan saya buruk mengingat kehilangan kewarasan saya, ia tetap memberikan pertolongan kepada saya.
Sampai suatu hari, ia membawa saya kepada seorang pembimbing rohani. Dengan setia dan rendah hati, pembimbing rohani saya tersebut menemani dan mendukung saya.
Hari berganti hari, kondisi saya tetap gila. Namun, itu tidak menyurutkan langkahnya untuk menolong saya. Suatu kali, di saat saya sedang sendiri, saya membaca Alkitab dan menemukan sebuah ayat yang berbunyi: Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.
Saya merenungkan kata-kata itu dan saya diubahkan di sana. Lewat bantuan pembimbing rohani yang melihat saya sedang menangis, saya pun diperkenalkan akan kasih Tuhan yang begitu besar, akan siapakah saya di hadapan Tuhan. Di situ saya pun memutuskan untuk menerima Tuhan sebagai Tuhan dan juruselamat secara pribadi. Puji Tuhan, otak-otak saya yang selama ini terkunci, dalam momen tersebut seperti terbuka semuanya.
Melalui proses bimbingan beberapa waktu lamanya dan mengalami pemulihan total, saya akhirnya kembali kepada masyarakat. Namun, saya kembali untuk menjadi penjudi atau pengguna narkoba, untuk menjadi orang yang berguna bukan hanya manusia tetapi juga bagi Tuhan.
Saya pun mendedikasikan kehidupan saya melayani Tuhan lewat membuka pelayanan untuk membantu orang-orang yang kurang waras atau dipinggirkan seperti saya dulu. Panti rehabilitasi Pondok Anugerah di Lembang sampai hari ini eksis dan tetap pada visinya.
Melihat semua yang saya sudah alami, saya percaya bersama dengan Tuhan kehidupan ini bisa berubah, dari seorang pecundang menjadi seorang pemenang. Haleluya!
Sumber : Pungky Yahya/jawaban.com